Sabtu, 02 Februari 2008

NO.034 CIDES: MENUJU BANGSA INDONESIA YANG MANDIRI DAN BERMARTABAT DI TENGAH TUNTUTAN GLOBALISASI

JAKARTA 1 FEBRUARI 2008

RACHMAD YULIADI NASIR - KABARINDONESIA.COM


NO.O34 CIDES:MENUJU BANGSA INDONESIA YANG MANDIRI DAN BERMARTABAT DI TENGAH TUNTUTAN GLOBALISASI


Nasional

CIDES: Menuju Bangsa Indonesia Yang Mandiri dan Bermartabat di Tengah Tuntutan Globalisasi
Oleh : Rachmad Yuliadi Nasir

25-Jan-2008, 15:28:19 WIB - [www.kabarindonesia.com]

KabarIndonesia - Globalisasi yang sudah berlangsung beberapa dasawarsa, saat ini ditandai dengan berbagai persoalan yang kompleks, yang hampir seluruh negara bangsa memperoleh akibatnya, termasuk Indonesia. Pertama, krisis energi global; kedua, krisis finansial, ketiga, krisis perubahan iklim atau lingkungan; keempat, krisis pangan; kelima, krisis Timur Tengah.

Sementara krisis di Indonesia yang bersumber dari krisis finansial yang merambat menjadi krisis multidimensi pada tahun 1997 lalu yang masih belum selesai, mempengaruhi kapasitas yang dimiliki, baik dari sisi aset maupun daya saing untuk menciptakan pembangunan yang diharapkan. Krisis global pertama, yaitu krisis energi, terjadi karena harga minyak bumi saat ini mendekati US$100/barrel. Kenaikan dalam tahun yang sama mencapai 75%. Hal ini dipicu oleh beberapa hal seperti konflik Timur Tengah, musim dingin di Amerika dan Eropa yang memicu peningkatan konsumsi, kenaikan konsumsi negara-negara emerging countries, terutama China dan India, dan berkembangnya spekulasi dibidang energi.

Di Indonesia, hal ini mengakibatkan terjadinya peningkatan subsidi atas BBM, karena harga minyak semula dipatok US$60/perbarrel dan produksi kita tidak mencukupi titik impas (keseimbangan antara subsidi dan penerimaan) yang dicantumkan dalam APBN, yaitu produksi sebesar 1,034 juta barrel/hari. Meskipun pemerintah menjamin tidak akan ada kenaikan harga BBM, namun kenaikan di sektor industri sudah terjadi karena biaya BBM untuk sektor industri berdasarkan harga internasional.

Peneliti LP3ES, Pri Agung Rakhmanto, mengatakan bahwa pada tingkat harga BBM US$90/barrel, maka kenaikan harga BBM industri mencapai sekitar 10% (kompas, 27 okt 07). Untuk industri tekstil, misalnya, komponen biaya energi mencapai 18% pengeluaran, sehingga dampaknya cukup besar bagi kelangsungan industri dan kesejahteraan buruh. Dalam bidang transportasi udara, menurut Sekjen INACA, T. Burhanuddin, kenaikan harga BBM saat ini akan mengakibatkan Direct Operating Cost (DOC) pesawat mencapai 60% dari semula 47%. Hal ini semua mengakibatkan adanya fuel surcharge yang dibebankan kepada konsumen. Oleh karenanya, perlu ada efisiensi yang serius terhadap anggaran negara, terutama dari sisi pengeluaran.

Berdasarkan data Depkeu September 2007, anggaran belanja negara baru terserap Rp. 449 triliun dari Rp. 752 triliun yang direncanakan atau sekitar 60%. Sedangkan dari sisi penerimaan baru sekitar Rp. 465 triliun dari Rp. 694 triliun yang direncanakan. Pemerintah sendiri harus serius meningkatkan pendapatan negara terutama dari bagi hasil migas yang sampai saat ini belum tuntas perhitungannya.

Krisis global finansial kedua diakibatkan oleh adanya krisis subprime mortgage di Amerika. Krisis ini terjadi karena ketidakhati-hatian dari investor terutama lembaga hedge fund yang melakukan transaksi spekulatif dan kecurangan atau manipulasi dari lembaga pemeringkat yang juga turut bermain sebagai investor seperti Merril Lynch, Moody’s Investor dan lain-lain. Krisis ini selain menyebabkan kerugian miliaran dolar terhadap para investor juga mengakibatkan perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia.

Menurut rilis IMF yang terbaru, pertumbuhan ekonomi dunia yang diperkirakan akan tumbuh sekitar 5,2% menjadi hanya sekitar 4,8% saja pada tahun 2008. Pertumbuhan ekonomi Amerika sendiri turun sekitar 1,7 % dan Jepang 1,9%. Ini merupakan hal penting bagi Indonesia, karena dua negara tesebut adalah tujuan utama ekspor Indonesia. Pertumbuhan ekspor Indonesia sendiri diperkirakan mulai terkoreksi sekitar 2% dari yang diperkirakan sebelumnya. Beberapa Bank Sentral utama telah melakukan bail out untuk mengurangi gejolak pasar keuangan seperti Bank Sentral Amerika, Eropa dan Jepang. Tetapi yang masih harus diwaspadai, adalah krisis ini masih belum berakhir dan perhitungan kerugianpun masih belum tuntas hingga sekarang.

Krisis global ketiga, yaitu krisis perubahan iklim dan lingkungan yang terjadi akibat perilaku manusia untuk mencapai tujuan-tujuan ekonominya yang (masih) menganggap tidak terbatasnya daya dukung bumi dan akan selalu ditemukannya teknologi baru yang dapat memperbaharui daya dukung tersebut (logika positivistik). Pada akhirnya, setelah terjadi perubahan iklim yang dashyat yang digambarkan dalam buku dan film Incovenient Truth oleh Al Gore, maka mulai timbul kesadaran yang meluas dikalangan masyarakat dunia untuk lebih peduli tentang masalah lingkungan.

Untuk isue lingkungan masih menjadi masalah dilematis, baik bagi negara-negara maju maupun negara berkembang. Untuk negara maju, dalam hal ini Amerika, Eropa dan Jepang kemudian diikuti oleh China dan India adalah pengguna energi yang boros. Tetapi bila mereka mengurangi kebutuhan energinya maka akan terjadi perlambatan ekonomi di negara tersebut. Untuk China misalnya, masalah ini menjadi sangat dilematis karena banyak industri di China yang menggunakan batubara sebagai bahan baku energi. Batubara sendiri merupakan salah satu energi yang sangat polutif bagi lingkungan, tetapi bila China mengurangi penggunaannya dan memperlambat pertumbuhan ekonominya maka akan ada sekitar kurang lebih 300 juta orang pengangguran yang masih belum terserap.

Namun negara berkembang seperti Indonesia pun yang masih mengandalkan sebagian devisa negara dari sumber daya alam juga menghadapi dilema yang serupa.

Krisis yang keempat adalah krisis pangan. Pada sekitar tahun 1850 Thomas R Malthus dan kemudian tahun 1960-an Club of Rome (terdiri dari berbagai pakar multidisiplin) meramalkan akan terjadi krisis pangan karena pertumbuhan penduduk yang kecepatannya melebihi pertumbuhan kemampuan manusia untuk mengadakan pangan. Tetapi dengan berbagai teknik dan rekayasa teknologi seperti revolusi pangan dan kemudian perkembangan bioteknologi membuat kebutuhan manusia akan pangan masih tercukupi.

Perkembangan selanjutnya yang mencemaskan adalah bahwa kebutuhan manusia akan perumahan dan perkembangan lahan industri telah menggeser lahan untuk pangan. Di Indonesia, hal ini dapat terlihat jelas di Pantai Utara Pulau Jawa dimana laju perubahan lahan pangan menjadi perumahan dan industri sekitar jutaan hektar per tahun. Kemudian setelah krisis energi mulai terjadi secara global maka kebutuhan akan energi alternatif pun semakin meningkat.

Salah satu yang sering dikemukakan adalah biofuel yaitu energi alternatif dari bahan-bahan pangan seperti jagung, kelapa sawit, dan lain-lain. Inilah yang menyebabkan meningkatnya harga-harga kebutuhan pangan diseluruh dunia. Indonesia sendiri merasakan dampaknya terutama dengan meningkatnya nilai Crude Palm Oil (CPO) yang mengakibatkan kenaikan harga minyak goreng dan beberapa komoditas pangan lainnya.

Krisis global yang kelima adalah krisis Timur Tengah. Krisis yang belum pernah berakhir sejak 1948. Ini merupakan krisis politik yang terjadi antar negara-negara di Timur Tengah, baik masalah Palestina dan Israel, Libanon, Kurdistan, yang berakar pada perbedaan Mazhab. Selain itu, juga disebabkab oleh rendahnya kepercayaan antar negara tetangga. Krisis ini menjadi penting karena sebagian besar negara tersebut adalah negara penghasil minyak terbesar di dunia dan posisinya akan menjadi semakin penting dengan adanya krisis energi sekarang ini.

Efek krisis ini menjadi semakin besar karena adanya serangan Amerika dan sekutunya ke Irak dan ketegangan antara Amerika dan Iran. Ini mengakibatkan tingkat ketegangan menjadi semakin tinggi dan suplai minyak semakin berkurang sehingga mengakibatkan harga minyak menjadi meningkat. Pada sisi politik, krisis Timur Tengah berimplikasi menguatnya perbedaan antara ummat Islam dan Barat. Ummat Islam menganggap bahwa dominasi atau ikut campur tangan Amerika dan Eropa terhadap nasib Bangsa Arab terlalu berlebihan. Sebaliknya, Amerika dan Barat menuduh Timur Tengah menjadi lahan subur bagi tumbuh berkembangnya terorisme internasional yang mengganggu kepentingan barat.

Stigma terorisme ini telah menimbulkan ketegangan, terutama bagi negara muslim. Di Indonesia, misalnya stigma tersebut berimplikasi tidak hanya hubungan Indonesia dengan barat, namun juga ketegangan diantara masyarakat Indonesia sendiri.

Berbagai krisis global yang digambarkan diatas, kemudian diikuti krisis dalam negeri: krisis 1998 dan diikuti berbagai bencana alam yang mengakibatkan pemerintah mempunyai berbagai keterbatasan untuk melakukan langkah-langkah dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi, memperluas lapangan kerja dan mengurangi pengangguran. Sejumlah kritikan yang diarahkan pada pemerintahan SBY-JK saat ini, terkait dengan pengelolaan sumber daya alam dan energi di sisi ekonomi dan hubungan politik, misalnya dengan Singapura dalam hal DCA, terjadi dikarenakan sebagian masyarakat menganggap bahwa Bangsa Indonesia mengalami kerjasama yang tidak menguntungkan dari sisi kemandirian dan kemartabatan kita. Dikatakan bahwa pihak asing sangat diuntungkan dari seharusnya. Hal ini terkait dengan adanya ketergantungan ekonomi politik Indonesia terhadap asing. Padahal sebagai bangsa yang merdeka, sudah seharusnya Indonesia mampu mengelola sendiri asset-asset yang dimiliki.

Meskipun kritik tersebut berlebihan, namun patut diakui bahwa Indonesia mengalami kondisi perekonomian yang kurang menguntungkan, yang diakibatkan oleh krisis multidimensi 1997 dan berakibat pada pengelolaan negara yang kurang baik. Secara finansial, krisis tersebut membuat berbagai instrument keuangan kita terkait dengan lembaga-lembaga keuangan internasional, bahkan berbagai bank-bank kita telah dibeli oleh asing. Berbagai asset yang adapun sudah digadaikan kepada perusahaan-perusahaan asing, seperti asset tambang dan energi, telekomunikasi, pelabuhan, kelapa sawit dan lain-lain. Keadaan seperti ini mengakibatkan berbagai keterbatasan pada pilihan-pilihan yang mampu dilakukan pemerintahan SBY-JK.

Pemerintah sendiri berusaha terus menerus memaksimalkan pembangunan melalui strategi pro growth, pro job dan pro-poor. Rata-rata pertumbuhan ekonomi kita bekisar 6,5%; makro ekonomi yang stabil, yang ditandai dengan inflasi yang terkendali dan nilai tukar rupiah yang stabil dalam jangka panjang terhadap dollar serta cadangan devisa yang terus meningkat; serta berangsur-angsurnya penyaluran kredit dari sektor perbankan. Pada sektor riil, Indonesia terus membangun secara sungguh-sungguh sektor energi, transportasi, perkebunan dll. Namun, memang ketidakpuasan masyarakat tidak bisa diatasi karena situasi objektif Indonesia dari sisi ekonomi masih lemah.

Dari sisi politik, sebaliknya pemerintah berusaha terus-menerus memperbaiki sistem demokrasi yang sudah berkembang. Desentralisasi dan pemilihan langsung terus dikembangkan sehingga partisipasi politik rakyat dapat maksimal. Kebebasan pers pun terus berlanjut sehingga tranparansi dalam wilayah publik dapat terjadi. Ditambah lagi tekad pemerintahan SBY-JK dalam memerangi korupsi, memberikan ruang bagi terciptanya pemerintahan yang efisien dan tergunakannya anggaran lebih banyak bagi kepentingan rakyat. Meskipun kesungguhan politik SBY demikian besar, namun desentralisasi sendiri seringkali menjadi halangan atas efektifitas pembangunan. Penyebaran kekuatan politik ke tingkat lokal mengakibatkan langkah-langkah pemerintah pusat seringkali tidak mendapatkan dukungan, sehingga terjadi keterlambatan dalam pembangunan yang direncanakan. Euforia kebebasan masyarakat sendiri seringkali di luar kontrol yang mungkin dilakukan pemerintah, seperti yang terjadi dalam konflik-konflik pembebasan tanah untuk pembangunan, penyerangan terhadap integritas pribadi lawan-lawan politik dan lain-lain, yang akhirnya juga menghambat pembagunan. Sedangkan pemberantasan korupsi seringkali pula terhambat oleh aparatur negara yang sebagiannya sudah terkontaminasi kebobrokan mental.

Situasi eksternal dan internal yang diutarakan di atas menuntut adanya konsolidasi politik nasional yang berorientasi pada pemecahan masalah secara bersama-sama. Indonesia mau tidak mau harus secepatnya masuk pada skenario besar yang berjangka panjang untuk keluar dari krisis yang ada. Konsolidasi politik ini menuntut suatu kepemimpinan yang kuat, dimana mayoritas elit kekuasaan tidak mengutamakan interest pribadi maupun kelompok dalam suatu kepemimpinan nasional. Hanya dengan skenario yang jelas dan kepemimpinan yang kuatlah Indonesia mampu melaju di era globalisasi ini.